iklan banner

Monolog Kesunyian

Monolog Kesunyian 
Karya: E Fidiyanto

Nasib yang tanpa jeda selama hayat dikandung badan, saling timbul sebab akibat.
Nasib menjelma sebagai tuan putri dengan seribu tipu daya. Ia telanjang dan menampakkan buah dadanya yang mirip buah pepaya. Itulah sebab cerita hidupnya.

Seorang lelaki yang rambutnya mulai memanjang, kumisnya lebat melintang, dan janggutnya meruncing laksana pedang, ia duduk termenung di bawah pohon kemuning. Menceritakan nasibnya pada kesunyian.
"Apakah ini sebuah lelucon?" terbahak ia menertawakan nasibnya.
Tata rias dan tata busananya urakan, tak sempat ia tampankan
lantaran pikirnya kalut pada peliknya persoalan hidup yang tak pernah selesai.

Pandangannya nanar, menerawang sejauh dua puluh tiga tahun silam kelahirannya yang disambut sewu welirang tanpa kesaksian.
Terlahir sebagai anak jadah bukan pilihannya, namun begitulah takdir melahirkan.
Sampai pada sekarang, ia ditertawakan nasibnya.
"Apakah ini sebuah lelucon?" tawanya sedikit memecah sunyi malam.
"Aku dilahirkan sebagai anak jadah!" suaranya melengking.
"Hai! Dasar kurang waras!" bentak tetangganya yang keluar rumah telanjang dada dan sarung mengikat di perut buncitnya. "Dasar anak jadah!" lelaki itu terganggu lantaran senggamanya belum selesai.

Anak jadah bangun dari duduknya dan bermonolog di kesunyian.
Nasib diri dihianati saudaranya yang tak sedarah namun ia mengaku lebih dari hubungan sedarah. Namanya dihancurkan dan aibnya dibeberkan. "Kita sudah kenal lama, kau sahabatku. Bahkan kau kuanggap saudara. Hahahahahahahaha..." katanya menirukan ucapan sahabatnya beberapa tahun silam.

Anak jadah geram lantaran dihujam dari belakang!
giginya gemeletuk!
tangannya mengepal dan dihantamkan pada batang pohon kemuning.
Inilah nasib seorang lelaki yang hidupnya selalu dicuci derita.
Ketulusan hatinya selalu dipertaruhkan untuk segalanya.
Namun namanya dipertaruhkan, bahkan dihancurkan!

Pada malam itu, harapan seperti dibumihanguskan. Seketika! Hancur!
Air matanya mengakhiri monolong kesunyian hingga dinihari.
"Tak ada pilihan selain bangkit lantas menata kembali!" akhir monolognya.

26 Jumadil 2 1437.